Pengalaman Solo Trip Singapura Malaysia (Beserta Kebodohannya)

Ini adalah pertama kalinya aku berpergian jauh sendirian. Sebelumnya, aku hanya pernah sekali pergi ke negara lain bersama rombongan dari Indonesia. Ini akan jadi pengalaman paling seru dan banyak pembelajaran yang bisa didapatkan dari perjalanan ini.

Target utamaku pada perjalanan ini adalah ingin mendapatkan pengalaman yang baru di negara yang baru, seperti berbicara dengan bahasa yang berbeda (Melayu dan Inggris), melihat betapa luasnya dunia ini, dan ingin bertemu teman-temanku yang tinggal di sana.

Aku juga akan bercerita pengalaman-pengalaman unik yang aku alami selama perjalanan beserta kebodohan klasik orang yang baru pertama kali travelling. Budget dan total pengeluaran dalam perjalanan ini aku sediakan di akhir artikel.

Awal Cerita

Aku pergi ke Singapura pada tanggal 7 Desember 2023 pukul 20.30 malam. aku memilih malam karena malam adalah waktu yang tepat jika ingin melakukan full day-trip pada hari esoknya. Jadi, aku sampai pada pukul 11 malam waktu Singapura (satu jam lebih cepat dibanding waktu Indonesia). Dari awal, aku memang berniat untuk bermalam di Changi Airport agar paginya bisa langsung main ke luar.

Tidur di airport adalah hal yang lumrah untuk para traveler.

Untungnya, aku punya teman asal Singapura yang bersedia menemani satu hari ini. Ia bilang akan menjemputku di airport pagi hari pada pukul 8.30 karena rumahnya dekat dari airport. Kami bertemu di Jewel, Terminal 1 Changi Airport karena itu adalah spot yang paling mudah dicari disana.

Kami berteman sejak kompetisi WorldSkills ASEAN pada bulan Juli yang lalu, aku mendapatkan medali perak dan ia mendapat medali perunggu. Saat kompetisi selesai aku diajak untuk dinner bersama, sejak saat itulah kami bertukar kontak dan berteman.

Satu hari di Singapura

Pesawat yang aku tumpangi mendarat pada pukul 23.00 SGT di Terminal 4. Pada malam itu, airport Changi lumayan sepi dibandingkan dengan pagi atau siang hari. aku bergegas untuk melewati imigrasi dengan autogate yang ternyata prosesnya sangat cepat (aku baru pertama kali pakai autogate). Setelah keluar dari imigrasi, aku bergegas mencari tempat yang enak untuk tidur meskipun itu hanya sofa, aku butuh tidur agar tidak mengganggu kegiatan esok hari.

Tidur di Airport

Setelah aku cari di Google, ternyata di Terminal 4 ada satu area yang bernama Snooze Longue, tempat kita bisa beristirahat. Tapi akungnya, ternyata snooze longue berlokasi di Transit Hall, sementara aku sudah terlanjur keluar dari sana. Akhirnya, aku mencari sofa di luar yang cukup nyaman untuk tidur. Setelah menemukan sofa, aku langsung berusaha menutup mata untuk tidur. Untungnya, bantal leher yang menempel di pundakku cukup nyaman sehingga membuat tidurku lebih lelap.

Aku tidak bisa tidur sampai kurang lebih 45 menit, kedua mata tertutup sambil menyimpan rasa excited untuk apa yang akan dilakukan esok hari. Walau sunyi, lampu tetap menyala seterang lampu yang digunakan dokter gigi untuk melakukan operasi gigi kepada pasiennya, yang rasanya seperti terkena flashbang ketika lampu tersebut dinyalakan. Setelah tidur pun aku terbangun setiap beberapa jam memperbaiki postur tidur di sofa single seater itu karena punggung terasa tak nyaman ketika tidur dengan posisi setengah duduk setengah rebahan.

Meet up dengan teman

Namanya Zec, dia bersedia repot-repot menjemputku di Changi Airport karena ia bilang rumahnya tidak jauh dari airport. Kami janjian untuk bertemu di Jewel, lokasi yang menjadi target utama turis yang mendarat di Changi Airport. Ketika bertemu di depan Jewel, senang sekali rasanya bertemu kembali teman yang baru kenal beberapa bulan yang lalu.

Zec mengajakku untuk naik bus untuk ke tengah kota. Ia berjalan dengan cepat mengarahkanku dari Jewel ke bus stop yang berada di underground seakan-akan ia sudah hafal blueprint bangunan ini. Aku naik bus tanpa melihat nomor berapa bus tersebut, aku percayakan kepada Zec dalam hal. Zec merekomendasikanku pergi ke Tampines Mall dan pergi ke Starbucks bersama untuk ngoding bersama. Ongkos untuk naik bus tersebut adalah S$1.5 dan bayar menggunakan kartu EZ-Link.

Di Tampines Mall

Setelah tiba di Tampines Mall pada kurang lebih pukul 9.30, kami pergi ke Starbucks dan langsung membuka laptop masing-masing. Laptopku dan laptop Zec punya kesamaan, sebuah khas yang dimiliki oleh para software engineer yang ingin menunjukkan identitasnya, yaitu banyak sticker tertempel di cover laptop. Selama di Starbucks, kami membahas banyak hal terutama WorldSkills Asia dan WorldSkills 2024 sambil nmelakukan ngoding random.

(Pada bagian ini, banyak hal teknikal yang ditulis, kamu bisa lanjut ke bagian Pergi ke Malaysia jika ingin baca hal selanjutnya.)

Kami menunggu jam 1 siang datang, dimana Advent of Code hari ke-8 akan dimulai lalu mengerjakannya bersama. Advent of Code itu terdiri dari dua bagian, bagian pertama itu tidak terlalu susah. Berbeda dengan bagian kedua, yaitu variasi lebih advancenya dari bagian pertama. Zec jauh lebih jago dalah hal ini, ia bisa menyelesaikan bagian pertama dengan kurang lebih 30 menit, sementara aku lebih lambat sedikit dibanding dia. Lalu ketika part dua dimulai, kami berdua mengerti tentang problemnya, tetapi solusi yang kami buat sama sekali tak dapat menyelesaikannya.

Karena problem ini adalah tentang kombinasi data yang sama, ini membutuhkan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari jika dilakukan secara brute-force atau greedy algorithm. Akhirnya, Zec menemukan terlebih dahulu solusinya, yaitu menggunakan LCM (Least Common Multiple) algorithm.

Pergi ke Malaysia

Singapura terlalu mahal, aku pun pergi ke Malaysia yang lebih murah untuk segalanya.

Dengan zero knowledge dan modal internet saja, aku mencoba rute Singapura ke Malaysia menggunakan bus modal nekat sendirian. Kalau aku lihat dari Google Maps, aku perlu pergi ke Queen Street dimana terminal bus itu berada. Ketika sampai di Queen Street menggunakan MRT (S$1.3), aku tidak tau bus apa yang perlu aku naiki untuk sampai ke Malaysia. Tujuan utamaku adalah Larkin Sentral di Johor Bahru.

Di depan terminal bus, ada banyak orang mengantri yang panjangnya seperti 100 ular panjang yang berbaris lurus, kurang lebih ada ratusan orang yang mengantri bus disana. Secara intuitif, aku tau ini adalah antrian untuk naik bus ke Malaysia. Untuk menguatkan keyakinanku bahwa ini benar-benar pergi ke Malaysia, aku tanya ke perempuan (orang India) yang mengantri di depanku menggunakan bahasa inggris.

Antrian bus

“I’m sorry, what is the bus that is going to Johor?” tanyaku dengan bingung.

“You can take any bus here, you can take 170 or CW2 to Johor” jawab perempuan tersebut.

Aku berterima kasih kepadanya dan firasatku mengatakan aku harus mengikutinya sampai ke Johor agar bisa survive.

OTW ke Malaysia

Aku bergegas menaiki bus CW2, mengikuti perempuan tadi yang ada di depanku. Aku scan kartu EZ-Link sebesar S$4.8 di dekat supir, lalu diberikan tiket berbentuk mirip seperti struk transaksi di Alfamart. Dengan membawa koper kecil (cabin-size) dan sebuah tas, aku mencari tempat duduk di belakang dan kebetulan ada tempat duduk kosong di dekat perempuan tadi. Setelah duduk, bus berangkat dan memakan waktu sekitar 15 menit untuk ke Woodlands dimana imigrasi Singapura berada.

Semua orang turun dari bus ketika sampai di imigrasi Singapura. Aku pun ikut turun sambil mengikuti perempuan tadi dari kejauhan diam-diam. Sesampainya di imigrasi singapura, antriannya sangat super-duper panjaaaang sekali. Ada ribuan orang yang mengantri untuk pergi ke Malaysia, mungkin karena saat itu adalah Jumat malam, dimana orang-orang yang kerja di Singapura pulang ke rumah keluarga di Malaysia.

Aku pun ikut mengantri di barisan autogate, sejujurnya aku tidak tau harus mengantri dimana, aku hanya ikut orang didepanku yang kelihatannya sudah biasa melalui tempat ini. Oh iya, aku lost track dengan perempuan yang tadi karena saking ramainya antriannya. Akhirnya, aku mengantri di autogate yang paling ujung dan paling sepi.

15 menit berlalu, sisa dua orang lagi yang mengantri di depanku. Mereka melalui autogate dengan lancar, bagaimana dengan aku? Apakah aku akan lancar seperti mereka? Sekarang adalah giliranku, aku memasukkan pasporku sesuai arahan yang ada pada autogate itu. Aku bersyukur aku sukses memasukannya dan namaku muncul di layar.

Pintu autogate pertama terbuka, sekarang masuk ke pintu autogate kedua. Aku diminta untuk menaruh jari jempol untuk discan fingerprintnya dan menatap ke kamera. Senang sekali ketika warna hijau muncul di layar, ternyata semudah itu! Eh wait, what the hell, ketika sudah hijau, aku mau maju melewati gerbang, kenapa tiba-tiba merah dalam 2 detik?

Aku tidak panik, sebagai software engineer, aku yakin ini ada kesalahan sistem dan bukan kesalahanku sendiri. Ada petugas yang sedang berkeliling mengatakan “Go back go back” sautnya. Aku merasa kaget, sudah antri lama-lama, kenapa harus dari belakang lagi?

Aku pun mundur ke belakang dan aku baru sadar bahwa ia menyuruhku untuk mengulangi dari insert passport, dari pintu yang pertama. Aku mengulanginya, dan ketika sampai ke pintu kedua, dalam 5 detik menempelkan jempol di pendeteksi fingerprint pintu sudah terbuka.

Selanjutnya, ternyata masih ada antrian lagi untuk menaiki bus. Dengan bingung, aku tak tau bus apa yang harus aku naiki. “Bukannya seharusnya aku kembali naik bus yang tadi aku naiki? Tapi busnya yang mana?” tanyaku dalam hati. Disana ada beberapa antrian untuk menaiki bus, antriannya panjang sekali, tetapi lebih sedikit dibandingkan antrian yang seperti neraka ketika mau melewati autogate.

Aku pun naik bus random yang ada di depanku, aku lupa nomor berapa. Ketika aku naik sambil memegang tiket, ada kenek bus tersebut mengatakan “no need scan, no need scan” dan aku langsung masuk tanpa melakukan scan EZ-Link.

Sampai di Johor Bahru

Setelah beberapa menit di dalam bus, semua orang turun dari bus, aku pun juga ikut turun. Jujur, aku tidak tau harus pergi kemana, tapi sesuatu yang pasti adalah aku harus menyelesaikan urusan imigrasi dan mendapatkan cap di pasporku. Aku jalan mengikuti rombongan bus yang tadi, lalu sampai di antrian imigrasi yang panjang walau tak sepanjang di imigrasi Singapura.

Aku tidak dapat menggunakan autogate, karena autogate hanya berlaku untuk paspor Malaysia disana. Jadi, aku mengantri di gate yang biasa, dimana ada orang yang dengan horrornya menginterogasi setiap orang yang ingin lewat. Aku lihat orang di depanku tidak diinterogasi yang sulit-sulit, terlihat dari pergerakan mulut dari kedua belah pihak. Melihat hal yang mudah seperti itu, aku jadi tenang karena tidak perlu overthinking tentang apa yang akan ditanyakan kepadaku.

Orang yang berjaga di gate tersebut adalah laki-laki dengan umur sekitar 28-35 tahun dengan wajah yang sedikit menyeramkan. Sekarang adalah giliranku, aku maju berjalan sambil berdoa agar tidak ditanya hal-hal yang merepotkan. Dan benar saja, itu tidak sesuai dengan apa yang aku ekspektasikan sebelumnya.

“Paspor” ujarnya dengan muka yang sedikit jutek seperti orang yang merasa suspicious denganku.

“Ini pak” setelah merogoh kantong celanaku

“Kamu dari singapur?”

“Saya dari Indonesia pak”

“Saya tanya, kamu berangkat dari singapur?”

“Iya pak”

“Kamu kesini kerja?”

“Oh tidak pak, saya mau traveling”

“Itinerary di Malaysia ngapain aja?”

“Pertama saya dari Johor mau ke Kuantan, lalu mau pergi ke Kuala Lumpur”

“Ada keluarga disana?”

“Tak ada pak, saya ada teman disana”

“Sudah beli tiket flight pulang?”

“Sudah pak”

“Mana tiketnya?”

“Ini tiket saya” sambil menunjukkan tiket pulangku ke Jakarta.

“Oh”

Dia sepertinya sudah merasa puas dengan jawaban-jawabanku. Pasporku dicap olehnya dan aku dipersilakan lewat walaupun ia masih merasa curiga denganku. Baiklah, aku akan melanjutkan perjalananku. Langkah selanjutnya adalah melanjutkan naik bus ke Larkin Sentral yang lokasinya kurang lebih 15 menit dari posisiku sekarang, Johor Sentral.

Dari Johor Sentral ke Larkin Sentral

Aku tidak tau harus naik bus apa untuk pergi ke Larkin Sentral. Karena informasi yang diberikan di Google Maps kurang akurat, aku memberanikan diri untuk bertanya ke seseorang, “Permisi, kalau mau pergi ke Larkin Sentral naik apa ya?” tanyaku kepada orang random. Orang tersebut berpikir sebentar lalu menjawab, “Oh Larkin Sentral, naiknya lewat gedung sebelah sana” jawabnya dengan ragu-ragu. Aku pun mengikuti sarannya, tetapi tidak dapat menemukan bus apapun di area gedung tersebut, malah balik lagi ke imigrasi.

Lalu aku berjalan mondar-mandir sambil mencari sign yang bertuliskan Larkin Sentral, akhirnya aku menemukannya secara intuitif, yaitu di tempat dimana banyak orang yang mengantri dengan membawa banyak barang bawaan.

Ketika ikut mengantri di antrian bus Larkin Sentral, aku pun ragu, bagaimana cara bayar busnya? Aku tidak punya kartu untuk tap seperti bus di Singapura dan Jakarta. Aku memberanikan diri untuk bertanya seorang ibu-ibu di belakangku, “Maaf bu, kalau naik bus ini perlu kad tak?” lalu ibu itu menjawab, “tak perlu cad la, kau bisa pakai cash, satu delapan” jawabnya. Aku sedikit lupa bagaimana jawaban exactnya, tapi begitulah kurang lebihnya.

Bus yang kunaiki tidak terlalu ramai seperti bus CW2 dari Singapura. Ketika sampai di tujuan akhir pada pukul 10 malam, Larkin Sentral, aku pun turun mengikuti rombongan lain yang ikut turun. Hal pertama yang aku cari di Larkin Sentral adalah ticket counter untuk membeli tiket ke Kuantan. Ternyata, tiketnya sudah habis terjual untuk perjalanan malam itu, perjalanan selanjutnya yang paling pagi adalah pukul 9.00 pagi. Oke, aku memutuskan untuk membeli tiketnya lalu aku bergegas cari hotel terdekat untuk bermalam disana.

Aku pergi ke hotel random yang aku temui di dekat terminal, lalu aku tanya berapa harga kamar yang paling murah. Ternyata kamarnya tak terlalu mahal, yaitu 40 ringgit saja, ditambah tax untuk orang luar Malaysia (10 ringgit), jadi totalnya 50 ringgit.

Walau bentuknya seperti penjara berukuran 2x3 meter, kamarnya cukup nyaman. Hanya ada satu busa tempat tidur, satu kipas angin, dan colokan. Itu sudah cukup untuk aku yang hanya butuh tidur disana. Aku pun tidur kurang lebih pukul 12 malam dan rasanya sangat capek setelah seharian berjalan kaki mencari arah.

“APAAA!?” dalam hatiku setelah lima detik bangun tidur. Jam di handphoneku menunjukkan pukul 09.09, artinya aku sudah telat naik bus. Aku pun bergegas memasukkan segalanya ke dalam koper dan tas lalu lari ke resepsionis untuk melakukan check out. Setelah check out, aku langsung lari ke Larkin Sentral untuk melihat apakah ada kemungkinan busku masih menunggu, dan ternyata tidak.

Aku langsung ke ticket counter untuk bertanya apakah ada ticket untuk pergi ke Kuantan secepatnya, ternyata ada satu bus yang akan berangkat pada pukul 10 pagi. Aku pun langsung membeli tiketnya yang seharga 25 ringgit. Karena penampilanku masih seperti muka bantal, aku pun cuci muka di toilet agar merasa lebih fresh.

Perjalanan ke Kuantan

Sebelum naik bus, aku menaruh koperku di bagasi bus sendiri lalu bergegas naik ke bus. Posisi dudukku berada di paling belakang dan paling kiri. Ekspektasi durasi perjalanan ke Kuantan adalah 7 jam. Selama perjalanan, beberapa kegiatan yang kulakukan adalah tidur, baca buku, scroll media sosial, menulis, mendengarkan musik, dan mendengarkan murrotal Al-Quran agar hafalanku tidak memudar.

Mulainya bencana

Sejak awal pergi ke Singapura, perut saya terasa kurang enak, dokter bilang asam lambungku sedang naik, rasanya seperti ulu hati terbakar ketika menelan sesuatu. Aku meminum obat yang mengandung paracetamol dalam perjalanan untuk mengurangi rasa sakit. Obat itu membuatku merasa mengantuk untuk beberapa saat. Setelah tersadar sepenuhnya, aku membuka hpku dan cek Google Maps, ternyata Kuantan sudah terlewat!

“Loh, kok bisa terlewat” tanyaku dalam hati. Padahal tiketku menunjukkan rutenya Johor Bahru - Kuantan. Bukankah itu artinya tujuan akhir Bus stopnya adalah Kuantan? Aku masih merasa positive thinking, mungkin busnya akan berhenti kembali di Kuantan setelah beberapa menit.

Ternyata tidak seperti yang kupikirkan, busnya berlanjut ke utara, yaitu ke Terengganu! “Apakah aku bisa turun di sembarang tempat? Tapi ini adalah di tengah-tengah kampung yang tak ada akses apapunm yang berada di tengah-tengah hutan.” pikirku dengan intens. Bagaimana caranya aku turun? Mungkin, aku akan tunggu bus stop selanjutnya atau jika ada orang lain yang turun, aku akan ikut turun.

Setelah sekitar satu sampai dua jam nyasar, akhirnya ada seorang kakek-kakek yang ingin turun, aku pun ikut turun tanpa tau ini dimana. “loh kamu turun dimana?” Pak Supir bertanya. “Tadi harusnya turun di Kuantan tapi lupa turun” ucapku sambil buru-buru turun.

Ketika turun dari bus, aku merasa tenang karena aku tak akan dibawa lebih jauh dari Kuantan. Tapi, ternyata hal yang lebih buruk yang tak terpikirkan itu terjadi. “Eh tunggu, KOPERKU MANA?” dalam hatiku merasa kaget.

Nyasar di tengah jalan

Tidak tau apa yang harus aku lakukan

Di siang bolong itu, aku terdampar di pinggiran jalan yang aku tak tahu ada dimana. Di sekitarku, tidak ada apapun yang menarik, jalanan sepi, dan ada sedikit toko-toko yang buka. Beberapa langkah dari tempat aku turun, ada toko aksesoris handphone yang buka. Karena tidak tau apa yang harus dilakukan, aku masuk ke dalam toko tersebut dan celingak-celinguk pura-pura melihat-lihat barang seperti orang kebinungan.

Pada akhirnya, aku bertanya kepada kasir dengan Bahasa Indonesia, menjelaskan secara singkat bahwa aku sedang terdampar dan koperku tertinggal di dalam bagasi bus. Dengan baiknya, kasir tersebut menyarankan aku untuk pergi ke terminal bus yang jaraknya kurang lebih 5 menit jalan kaki dari toko tersebut.

Terminal tempat aku mencari pertolongan

Mencari pertolongan

Ketika aku pergi ke terminal bus, aku melihat ada ticket counter disana. Aku merasa sepertinya aku bisa bertanya ke mereka tentang apa yang aku alami. Di counter tersebut ada dua orang perempuan melayu, aku menceritakan kronologi kehilangannya, lalu perempuan tersebut dengan baiknya membantu dengan memberikanku nomor telfon dari customer service dari bus Adik Beradik.

Sayangnya, aku tidak punya nomor Malaysia dan pulsanya untuk menelfon nomor tersebut, aku hanya menggunakan data roaming. Akhirnya, aku mengecek apakah nomornya mempunyai Whatsapp atau tidak, dan alhamdulillah ada. Aku mencoba menelfonnya dari Whatsapp. Telfonku diangkat, orang yang menjawab adalah perempuan melayu. Aku menjelaskan kronologinya ke perempuan tersebut dan memberikan foto tiket yang aku punya.

Perempuan dalam telfon itu akhirnya memberikanku nomor telfon dari dua driver yang bertugas dalam bus yang aku tumpangi tadi. Lalu, aku mencoba menelfon kedua nomor tersebut. Nomor pertama kutelfon, tidak ada jawaban. Nomor kedua kutelfon, tidak dijawab juga. Karena aku lapar dari pagi hanya makan roti yang kecil ukurannya.

Aku mencari tempat makan dan membeli Nasi Goreng Ayam. Rasanya jauh berbeda dari rata-rata Nasi Goreng yang kumakan di Jakarta, seperti ada rasa kari dan kunyit. Di dekat tempat makan itu, aku menemukan hidden gem yang tidak pernah aku temukan dimanapun. Tempat yang sangat bagus viewnya, sangat breathtaking dan menenangkan. Tenang rasanya jika aku bisa merasakan atmosfir tenang seperti ini di Jakarta.

Setelah perut terisi, aku mencoba menelfon drivernya kembali. Setelah sekitar sepuluh detik menelfon, driver tersebut menjawab. Aku mencoba menerangkan masalahku dengan pelan, bahwa aku adalah orang dari Indonesia yang kopernya tertinggal di bus. Aku kebingungan ketika mendengar dia bertanya balik. Seperti “Kau blablablablabla mana?”, aku benar-benar tidak paham apa yang dia katakan. Bahasa melayu tapi tak seperti bahasa melayu. Rasanya seperti ketika orang yang tidak jago bahasa inggris mendengar bule dengan british accent yang berbicara dengan cepat.

Aku menelfon di dekat ticket counter tadi. Saat menelfon, aku berkali-kali bilang “Maaf pak saya tidak mengerti, boleh berbicara lebih pelan?” ucapku. Tetapi, walau driver tersebut sudah memelankan bicaranya, aku tetap tidak mengerti karena cara penyebutan syllable yang berbeda.

Di sampingku, ada ibu-ibu yang terlihat sedang menunggu bus. Perawakannya seperti seorang ibu berumur 40-50 tahun, menggunakan hijab, dan sedikit gemuk. Dengan instingku untuk meminta bantuan, aku mendekati ibu-ibu tersebut lalu meminta bantuan “Bu, aku orang Indonesia, boleh bantu bicara di telfon ini? Luggage aku tertinggal di dalam bus, dan ini adalah driver yang berbicara” kurang lebih begitu kataku. Aku pun memberikan handphoneku kepada ibu tersebut.

Ibu tersebut langsung tau apa yang harus ia katakan ke driver tersebut dengan bahasa ‘alien’ yang aku dengar. Selama bercakap, si ibu sedikit menerjemahkah hal yang penting yang dikatakan oleh driver bus itu. Seperti “luggagenya warna apa?”, “tertinggal dimana?”, “kamu stay disini sampai pukul berapa?”. Ibu itu membantu berdiskusi dengan driver untuk mencarikan solusi agar koperku bisa kembali ke tanganku.

Driver bus itu mengatakan bahwa ia punya teman driver lain yang akan berangkat dari Terengganu dan akan sampai di Kemaman pada waktu kurang dari jam 12 malam. Aku bersyukur lega. Ibu itu menyarankanku untuk bermalam di hotel dekat sini untuk menunggu driver tersebut datang. Setelah aku berterima kasih kepada ibu itu, ia langsung pergi.

Setelah merasa tenang, aku melihat ada hotel yang sangat dekat dengan terminal bus, tinggal menyebrang jalan dan sampai. Aku menanyakan berapa harga kamar yang paling murah disitu. Kamarnya lumayan bagus, dengan seharga 80 ringgit, aku dapat double bed dengan kamar mandi yang lumayan bagus. Sambil menunggu, aku menonton Valorant E-sports yang sedang berlangsung pada waktu itu, yaitu PRX vs Sentinels. Lalu, pada pukul 11.20 malam aku pergi ke terminal bus untuk menunggu bus itu datang.

Aku menunggu bus yang membawa koperku di Terminal Bus Kemaman. Ketika bus sudah sampai, aku dikabari oleh oleh driver busnya bahwa aku dapat mengambil koperku sekarang. Dengan senang, aku langsung menghampiri bus tersebut dan mengambil koperku di dalam bagasi. “Alhamdulillah, that was such a thrilling experience” ungkapku dalam hati.

Koperku yang kembali

Melanjutkan perjalanan ke Kuantan

Aku langsung membeli tiket ke Kuantan di ticket counter itu. Ongkos dari Kemaman ke Kuantan adalah 10 ringgit saja. Aku berangkat keesokan paginya pukul 8.45 dari terminal bus yang sama. Kami berencana untuk jalan-jalan di mall East Coast Mall (ECM) di Kuantan. Ketika aku dalam perjalanan, mereka sudah menungguku di Kuantan Sentral Terminal.

Tempat pertama kali kenal dengan temanku yang ini adalah di internet. Merasa sangat excited, ini benar-benar pertama kalinya kami akan bertemu secara langsung. Aku turun dari bus, mengambil koper di bagasi (tentu saja tak akan tertinggal lagi), berjalan mencari toilet sebelum melanjutkan perjalanan.

Temanku adalah seorang perempuan, namanya Mariam, ia menggunakan pakaian hitam pada hari itu. Selesai dari toilet, mataku mencari-cari dimana perempuan yang mengenakan pakaian hitam. Aku menemukan Mariam bersama dua temannya berada di tempat duduk ruang tunggu. Aku mendekati mereka dan dengan sedikit awkward aku menyapa mereka, lalu menanyakan nama mereka. Mereka adalah Qasrina dan Fathma, teman satu kelasnya Mariam.

Kami berniat untuk pergi bersama ke East Coast Mall dengan Grabcar. Aku dengan repotnya membawa koper, aku memutuskan untuk add stop ke hotel terlebih dahulu. First impressionku untuk Grabcar ini adalah: MURAH! Kira-kira sama murahnya dengan Goride di Indonesia. Sementara, Gocar/Grabcar di Jakarta itu lebih mahal dari Grabcar di Malaysia.

Setelah kami ke ECM, lalu ke Teluk Cempedak. Teluk Cempedak adalah pantai yang paling top yang ada di Kuantan, kata driver Grabcar dalam perjalanan ke Teluk Cempedak. Tak banyak yang kami lakukan di Teluk Cempedak, teman-temanku berfoto-foto di pantai sedangkan aku hanya menikmati sejuknya angin sepoy-sepoy di tengah pasir yang panas, sambil membaca buku Ihda' milik Fathma dan Richest Man in Babylon yang baru kubeli sebelum berangkat ke Singapura.

Teluk cempedak

Hari pun makin sore, aku pulang ke hotel menggunakan Grabcar. Sampai di hotel, aku mandi lalu mencari makan malam. Aku melangkahkan kaki ke depan hotel dan merasakan segarnya udara malam. Tidak ada bosannya pikiranku ini membandingkan kota ini dengan Jakarta yang sangat motorcycle-centric dimana sepanjang hari hanya ada pemandangan kemacetan dan polusi menumpuk. Makanya, aku hanya punya kesempatan mencari udara segar di jalanan pada hari ahad pagi di Jakarta.

Di sekeliling hotel, aku tidak menemukan restoran yang buka. Tapi, aku menemukan Seven Eleven yang legendaris di Indonesia dulu! Kami menyebutnya sevel, yaitu tempat favorit kami saat SD mengeksploitasi slurpee unlimited dengan cara mengisi minumannya, meminumnya, lalu mengisi gelasnya lagi setelah setengah kosong. Di sevel, aku membeli Indomie Goreng Cup. Ketika aku memberitahu temanku bahwa aku membeli Indomie Goreng Cup di Malaysia, “Jauh-jauh ke Malaysia malah beli makanan yang ada di Indonesia” kata mereka.

Keesokan harinya, aku langsung packing barang-barangku ke dalam koper, bersiap-siap, lalu memesan Grabcar ke Terminal Sentral Kuantan untuk pergi ke Kuala Lumpur dengan bus. Saat itu, tiket busnya tidak bisa kubeli secara online karena aku tidak mempunyai e-wallet untuk membayarnya seperti Grabpay atau Touch N Go. Jadi, tiketnya akan kubeli di ticket counter terminal.

Kuala Lumpur Arc

Aku mempunyai seorang teman yang tinggal dekat dari Kuala Lumpur, sebut saja Amir. Saat masih di dalam bus, aku mengabari dia bahwa aku akan sampai di Terminal Bersepadu Selatan (TBS) dalam satu jam. Dengan senang, ia bersedia menjemputku ke Terminal dengan mobilnya yang keren itu. Karena lapar, kami pergi ke salah satu tempat makan di Kuala Lumpur yang tempatnya cantik, yaitu Nasi Lemak Wanjo Kg Baru.

“Kenapa di Malaysia dimana-mana ada nasi lemak?” tanyaku di dalam hati. Mungkin memang nasi lemak itu adalah makanan favorit semua orang sehingga banyak orang yang ingin jualan nasi lemak. Harganya tak mahal, aku memesan makanan dengan hanya sedikit lauk.

Setelah makan, aku menginap di apartemen tempat Amir tinggal. Apartemen tersebut isinya semua orang-orang IT yang aku pun sudah bisa membayangkan bagaimana atmosfir yang diciptakan jika orang-orang IT tinggal dalam satu rumah. Aku sangat berterima kasih kepada Amir karena sudah membolehkanku untuk bermalam di sana.

Work From Cafe (WFC)

Keesokan harinya, aku pergi ke salah satu kafe di Tamarind Square, Putrajaya. Tamarind Square tempat terbaik untuk nongkrong, tempatnya super-estetik dan instagrammable untuk beberapa kalangan. Sayangnya, ketika aku mencoba untuk berjalan kaki di luar Tamarind Square, aku merasa jalannya sangat tidak walkable. Tidak ada trotoar, tidak ada zebra cross, dan di samping ruas jalan hanya ada rumput basah yang tanahnya gembur. Sementara itu, jalan raya disana itu sangat lebar padahal hanya ada sedikit mobil yang lewat.

Di kafe, aku memesan satu kopi Latte dan satu Butter Croissant sambil mengerjakan skripsiku yang tak kunjung kelar ini. Setelah itu aku pulang dan kembali ke apartemen temanku untuk makan malam bersama. Disana, aku berkenalan dengan banyak teman Amir saat makan malam. Mereka semua orang IT, dan aku merasa sangat konek dengan mereka karena usia kami tidak jauh, dan yang paling penting adalah mempunyai interest yang sama.

Mencoba berkenalan dengan orang baru

Aku menerima challenge dari temanku untuk mendapatkan teman baru di Malaysia.

Pada hari terakhir di Malaysia, aku mencoba explore Kuala Lumpur sendirian. Pertama, aku pergi ke Central Market untuk beli oleh-oleh yang diminta oleh keluargaku di Indonesia, yaitu coklat! Coklat adalah oleh-oleh favorit ketika ada orang yang pergi ke Malaysia atau Singapura. Di sana memang tempatnya untuk beli oleh-oleh, karena itulah aku bertemu banyak bule disana.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 1 siang, perutku bergetar memberikan sinyal ke otak bahwa aku perlu makan. Ketika berkeliling sambil mencari restoran yang kelihatan enak dan murah, aku menemukan food court. Aku menemukan meja yang bisa ditempati oleh empat orang. Aku duduk, walau tau sebenarnya lebih baik meja ini diberikan untuk rombongan yang lebih banyak. Aku menaruh tas di meja itu untuk menandakan bahwa meja itu telah ditempati.

Aku meninggalkan meja untuk membeli Nasi Campur seharga 11 ringgit. Ketika aku memesan makanan, aku sambil melihat-lihat apakah mejaku aman tidak ada yang menempati, dan ternyata ketika aku perlahan mendekat kembali ke meja, aku melihat ada satu pasangan yang duduk di mejaku, duduk tepat di depanku, berhadap-hadapan. Ketika aku hendak duduk dengan membawa piring berisi nasi, aku menyapa “Hello” dan ternyata mereka cukup friendly.

Mereka berdua terlihat seperti orang bule yang berusia 50 tahun ke atas. Dengan rasa tidak enak, aku makan di depan mereka ketika mereka tidak makan. Untuk menghilangkan rasa awkward, aku mencoba untuk mulai bertanya hal-hal random seperti “Where are you from?”. “Germany!” jawab mereka dengan excited. Dari situ, aku tau jurus apa saja untuk mengeluarkan topik yang menarik untuk dibicarakan. Ternyata, mereka suka traveling bersama. Sebagai orang yang baru memulai perjalanan traveling, aku bertanya banyak hal tentang traveling di Eropa dan berbagai tips-tips yang bisa mereka berikan ke aku.

Selanjutnya, aku pergi jalan-jalan sendiri ke Petaling Street yang jaraknya hanya 5 menit jalan kaki dari Central Market. Di siang hari yang panasnya membakar ke kulit, aku menemukan kafe untuk berteduh dan melanjutkan pekerjaanku. Hujan turun, latte yang kuminum menjadi lebih nikmat.

Ketika itu, ada dua orang perempuan yang masuk ke kafe, usianya kurang lebih sama denganku. Menurutku, ini adalah kesempatan mencari teman baru yang paling oke. Mereka duduk dengan jarak satu meja denganku. Sebagai introvert yang jarang sekali berinteraksi dengan orang, aku mencoba memberanikan diri untuk memulai percakapan yang out of nowhere itu. Aku berdiri, lalu berjalan mendekati mejanya, “Hai, aku boleh join duduk disini?” ucapku sambil memegang kursi di depan mereka.

Mereka mempersilakanku untuk duduk. Ketika aku sudah duduk dengan baik, aku langsung melontarkan pertanyaan “Kalian asalnya dari Malaysia negeri apa?” dengan berharap mereka mengerti maksudku. Aku masih sedikit takut salah mengeluarkan kata-kata dari Bahasa Indonesia yang mungkin orang Malaysia tidak mengerti. Untungnya, mereka mengerti maksudku dan bertanya balik “Aku tau kamu dari Indonesia”. Sedikit kaget, tapi aku langsung berspekulasi bahwa mereka tau aku orang Indonesia karena mendengar aksenku yang jauh berbeda dengan aksen Melayu punya. Dan ternyata benar, mereka mengetahuinya dari caraku berbicara.

Percakapan mengalir seperti air, topik-topik baru selalu muncul ketika berbicara dengan mereka. Itulah yang kusuka dari berbicara dengan orang baru, masih ada ribuan topik yang bisa kita gunakan berkali-kali ketika mulai berbicara dengan mereka. Setelah berbicara cukup lama, aku meminta nomor telepon mereka dengan harapan kami bisa menjadi teman dan keep in contact. Jujur saja, menurutku itu adalah salah satu pengalaman yang paling mengesankan dari perjalanan ini.

Malam harinya, aku makan Nasi Kandar di restoran bernama Nasi Kandar Saddam. Saat hendak masuk ke restoran itu, wangi semerbak kari tercium dari jauh. Aku memesan nasi dengan ayam lalu dituangi dengan berbagai macam kuah. Perut sudah terisi, lalu kami pergi ke KLCC Twin Tower yang terkenal itu. Banyak sekali orang yang datang kesana untuk foto-foto di depan gedung kembar cantik nan bercahaya itu.

KLCC

Pulang ke Jakarta

Aku memilih pulang ke Jakarta dari Kuala Lumpur terlalu pagi, yaitu pukul 06.45. Aku harus berangkat dari pukul 3 pagi agar bisa santai-santai dulu di bandara. Sesampainya di Bandara, aku mencoba untuk check-in mandiri di mesin dekat check-in counter Batik Air. Check-in mandiri dilakukan dengan memasukkan kode PNR dan last name. Tiket tidak ditemukan! Aku kaget, kenapa tiket tidak ditemukan padahal aku sudah jelas-jelas beli tiket dari Agoda. Apakah aku harus hubungi customer service Agoda? Aku mencobanya, tapi yang jawab pertanyaanku itu hanya bot.

“Oh, mungkin aku perlu mengantri check-in manual di check-in counter” pikirku. Aku melihat ke counter-counter yang berjejer disana, tapi tidak ada satupun orang yang bertugas di counter. Karena sudah banyak orang yang mengantri disana, aku ikut mengantri. Waktu semakin mepet, setelah bosan mengantri lebih dari 30 menit berdiri karena menunggu orang counternya datang, akhirnya giliranku tiba. Aku memberikan tiket digitalku dalam bentuk PDF di handphoneku, tetapi mba-mba counter itu mengatakan bahwa aku berada di counter yang salah. Harusnya, aku check-in di counter 1 paling ujung. Arrghh, aku merasa sudah menghabiskan waktu panjang karena mengantri tapi tak ada hasilnya.

Aku menemukan lokasi counter 1 itu, jaraknya hanya tiga menit berjalan kaki dari counter yang salah tadi. Aku melihat banyak orang yang juga mengantri disana. Duh, aku harus mengantri ulang dari awal. Tapi gapapa, yang penting aku merasa sudah tenang karena tadi aku mencoba check-in di Batik Air Malaysia, bukan di Batik Air Indonesia (ya, ternyata beda!). Itu juga alasannya kenapa tiketku tidak valid ketika dicek di self check-in counter. Ketika giliranku, aku memberikan tiket, lalu koperku ditimbang dan selesai, sesimpel itu. Aku diarahkan untuk langsung menyelesaikan urusan imigrasi oleh mba-mba petugas check-in counter itu.

Ketika di imigrasi, sesuai dengan ekspektasiku, tidak terlalu sulit untuk melewatinya karena aku mempunyai paspor Indonesia yang ingin pulang ke Indonesia, tidak akan dicurigai pekerja migran ilegal seperti satu minggu sebelumnya. Petugas imigrasi tanpa basa basi fafifuwasweswos langsung memberikan capnya itu di pasporku. Setelah satu jam, aku naik ke pesawat, menutup mata sebentar, ketika membuka mata aku sudah berada di Indonesia.

Total budget yang dikeluarkan

#NamaHarga
1Flight CGK-SINRp150,000
2Flight KUL-CGKRp650,000
3A&WRp57,000
4Roti SobekRp17,000
5Changi-Tampines (Bus)S$1.50
6Lunch in TampinesS$15.00
7Tampines - Queen Street (MRT)S$1.80
8Bus Queen Street - JB SentralS$4.80
9JB Sentral - Larkin SentralRM2.00
10Nasi LemakRM8.00
11HotelRM50.00
12Larkin Sentral - KemamanRM28.00
13Roti Sausage + Roti pizzaRM9.00
14Nasi GorengRM13.00
15BurgerRM14.00
16Kemaman - KuantanRM10.00
17Grab Kuantan Sentral - ECMRM14.00
18LaksaRM18.00
19Ice CreamRM8.00
20Beryls botolRM15.00
21Some stuffRM12.00
22Grab to Teluk CempedakRM10.00
23Pasta + WaterRM22.00
24GM Hotel (Shared room)RM60.00
25Mie Goreng CupRM4.00
26Mie Goreng AyamRM8.00
27Grab to Kuantan SentralRM6.00
28Kuantan Sentral - TBS (KL)RM22.00
29WartegRM11.00
30Nasi LemakRM15.00
31ParkirRM5.00
32Roti KosongRM1.50
33Lunch Nasi Salted Egg ChickenRM20.70
34Iced LatteRM14.00
35Triangle Chicken Curry PuffRM7.90
36Nasi Goreng Ayam KunyitRM10.00
37Roti Canai TelurRM3.00
38Grab Cyberjaya-KLRM38.00
40Kopi + French friesRM23.00
41Lunch nasi campurRM12.00
42Nasi KandarRM9.50
43Texas (Ayam + Nasi)RM11.00
44Roti’O (CGK)Rp14,000
45Bus to homeRp85,000
TotalRp2,956,443